Meminta mati

Derai hidup yang dirangkai oleh kisi kisi buram dinding itu bersaksi.
Menyaksikan untuk kesekian kalinya betapa dunia mampu memporak porandakan pertahanan paling awal dari kedua penglihatannya.
Ia lalu menyudut,terjelembab dalam tangisnya,seraya menepuk nepukan pundak berusaha menenangkan imajinasi yang terlalu dahsyat meminta perhatian atas tubuhnya.

Kedua tangannya bergetar menahan getir.

Berkali kali ia meminta mati.

Ia pernah membaca sederet kalimat yang dirangkai oleh kaum sufi disana bahwa kita punya kendali atas tubuh kita sendiri.

Kita bisa memilih kapan kita mati.

Tapi Dia bukan sufi yang merindukan tuhan disetiap hela yang rutin dijenguk udara.
Dia masih menangis sesenggukan karena dunia masih mengoyak hatinya, manusia masih mampu menjejali kepalanya dan mengisi ruang tangis yang tersisa.

Dan dia kali ini meminta mati,mungkin ia tak terlalu alim untuk bertemu tuhannya secepat ini.

Tapi malam ini, ia terbaring berusaha menampung tangis
Dan meminta mati pada partikel debu yang beradu dengan bau lembab yang dipancarkan dinding setengah pudar,iya merapalkan mantra dalam dalam sembari berharap seluruh kepada tuhan yang ia tidak tahu.

Ini halusinasi!

Semarak rindu dalam sekarang

Selamat pagi hati kecilku?apa kabarmu hari ini?
Hari ini kita tidak akan mengarungi sedu sedan itu bersama sama lagi
Cukup kita sendiri sendiri merangkai rasa.
Hari ini aku ingin kamu berhenti sejenak,cukup menepi pada sudut paling nyaman dalam detak paling membahagiakan dari eksistensimu.
Hari ini aku tergelak manis pada kawan sekelas dan teman sekamarku.
Kami mengurai debat soal kekuasaan.the absolute power katanya,aku dan mereka tak lantas beradu argumen sehingga terselip benci,kami bergurau soal betapa menjijikannya simbol kamar mandi di rajiv chowk sana:toilet wanita ditandai gambar kucing yang artinya “pussy” dan toilet lelaki gambar ayam jantan yang artinya “cock” dua duanya berarti alat genital.
Lalu diskusi kami mengalun kembAli tentang hegemoni dan kekuasaan.ah,sebagian besar kuikuti diskusi itu,sebagian lagi aku bermain sudoku,bersama kawan vegetarianku,shivi.
Kami mengikik pelan,aku menggandeng lengannya erat.
Tahu tidak?aku akan merindukan setiap inci dari kelas yang dipenuhi aroma bau badan orang india ini, aku mencoba mengingat setiap lekuk senyum shivi,beserta lesung pipitnya.
Bagaimana ia begitu seriusnya membicarakan feminisme yang kristeva tawarkan,kami bisa berdiskusi berjam jam lamanya. Dia membuat teori buku teks menjadi hidup dan seolah menari dalam hidupku.
Aku juga akan merindukan gertrude,si wanita cantik tapi pernah aku benci karena mencuri judul dan konten karya ilmiahku menjadi karyanya,tepat 6 jam sebelum pengumpulan terakhir.
Aku akan merindukan meja penuh debu,burung dara yang hinggap di jendela,mikrofon usang yang lebih sering berdenging keras dibanding berfungsi dengan bAik,kipas angin yang kepadanya lah kami gantungkan hidup kami ketika musim panas datang,setiap hela yang hidup dari kelas ini pasti akan kurindukan.

Dan juga, prashanta, lekuk senyum dari dua lesung pipit yang akan pastinya kurindukan. Bagaimana ia mengurai bahagia ketika aku mencoba menelan rapat rapat penjelasannya soal sekularisme, bagaimana tuhan bermain main dengan keimanan kita, itu katanya. Aku juga akan merindukan kelakarnya saat kita menyesap kopi dan berbagi manisnya brownies bertabur almond kesukaanku, punyamu carrot cake eggless. Masih kusimpan juga pesan singkatmu tahun lalu yang gusar karena mimisanku yang tak kunjung berhenti, cemas dan galau katamu, kau tak bisa tidur tanpa mendengar kabar dariku. Desir tak bernama yang singgah dihatiku saat itu takkan kulupakan. Begitu pula tatapan kekasihmu pada kelas feminisme yang membuatku kapok masuk kelasnya, semua kusimpan rapat di kepalaku, bersama bayangmu.

Aku akan merindukan derak gerbong MRT, berteriak lantang dan galak pasa supir bajay, meskipun aku tak paham salahnya dia apa, tapi karena aku tak mengerti hindi, aku merasa apapun yang dia katakan selalu salah. Debu yang menempel pada kursi kereta sleeper class juga akan aku rindukan, perjalanan rutinku ke aligarh contohnya, melewati sungai yamuna yang hitam pekat, dan baunya menyesakkan dada, akan membuatku rindu.

shawarma, chai panas yang kuseruput siang bolong, kurkure makanan ringan bermasala, chicken wrapped mc donald, semua akan kurindukan, wangi tubuh teman sekamarku, raut wajah stevan yang sedang badmood, caranya merajuk. semua akan membuatku menitikkan airmata kelak, lebih deras daripada hari ini.

Aku berusaha menerjemahkan semua kenangan yang tersisa bersama orang yang kusayangi di negeri ini, berusaha memahami rasa mereka, mencintai mereka selagi bisa dengan sisa cinta yang bisa kuberikan.

menerjemahkan cinta

Cinta pertama ini bertautan, dan saling mengisi kotak memori masing masing kami..

Temaram dan jembatan panjang lab school menuju kos kosan ku adalah saksi betapa gurat cemas di wajahnya adalah harta yang berdiam dalam rasa hingga kini..

Ia memapahku, dan tergopoh menyodorkan segelas air minum, seolah diberikannya semua mantra yang ia kenal agar parasku kembali hidup dengan gelak..

Setiap molekul dari tubuh melesat pergi ke angkasa, bibir kami terkunci dan jiwa kami berdiskusi,

ia mencintai ku.

dan setengah dari diriku mencintainya..

Aku adalah neraka, ia surga. 

Kami berdua saling menarik membentuk hidup, memberi arti keseimbangan.

Ada yang salah dengan api yang membakar tubuhku? atau dengan embun pagi yang menyelimuti matanya?

kami berdua ciptaan tuhan yang berbeda, dan pasti tuhan menyelipkan akal sehat di balik penciptaan kami.

Apa itu benar? apa itu salah? apa itu hidup? apa itu mati?

Kita menelaah setiap sudut bumi, beradu kepala mencari arti, kita adalah dua insan galau yang ditempa hidup, gelisah atas ketidakseimbangan, dan badai yang berkecamuk dalam kepala kita.

Kita bergandengan tangan,  tubuh kita dipisahkan atas nama taqwa, jiwa kita lalu bersatu padu dalam diam.

Setiap lantun dari jawabmu adalah ajakan untuk merayakan kesuksesan pikir kita untuk terus bertanya.

Kau adalah cipta yang bahagia jelma dalam pengalaman pertamaku bercinta dengan semu.

Aku adalah maya yang diterjemahkan sepi yang bersarang di dadamu.

 

aku bersamamu!

hari ini aku begitu lelah, seperti biasa, negara ini tak perlu usaha extra untuk membuatku jenuh dan super capek, tiba tiba aku bermain dengan lamunanku akan masa depan, dunia yang akan kubentuk agar aku bisa tinggal didalamnya, sampai umurku habis nanti.

ah masi lama, batinku.

lalu ku buka layar laptopku yang keyboard p and tombol enternya tak berfungsi lagi, lucu, ingat kenapa ini bisa begini, roomate ku menyiramkan satu gelas penuh jus jeruk kesukaannya yang selalu ia seruput dengan nikmat kala matahari menjulang terlalu tinggi.

tapi aku tidak lekas marah, dan benar saja, ini lalu jadi kenangan.

beberapa orang teman kuliahku memposting pengumuman bahwa akan ada farewell party jumat besok.

farewell party katanya, karena iya, aku mahasiswa tingkat akhir.

setitik kecil dari hatiku melonjak kegirangan, namun sebagian besar  perasaanku tak bernama.

pernah merasa de javu? itu istilah untuk perasaan  sedang kita rasakan sebenarnya pernah kita alami jauh sebelumnya.

Aku sedang mengalaminya sekarang. semua yang aku rasakan dalam hidup adalah takdir sekaligus deja vu, begitu pun dengan dua orang yang aku temukan di kehidupanku ini, sepertinya, jika memang ada kehidupan lalu,  kami pernah bercengkrama, semua yang kami alami seperti sudah di gariskan untuk terjadi begitu saja, effortless, kami mengurai memori begitu saja.

aroma tubuh mereka, rambutnya, body lotion yang mereka pakai, aku yakin akan menjadi siksa rindu di tahun depan atau tahun tahun berikutnya.

aku memeluk tuts tuts virtual keyboardku dengan erat.

berusaha menerjemahkan perasaaanku terhadap mereka. iya.

mereka.

dua wanita super tangguh yang tak kusangka akan terjaring tergantung bersamaku, bersama mengayun kesana kemari bersamaku, dalam  pendulum memori ku..

wanita pertama ini adalah sahabatku semenjak kuliah dulu. iya. wanita manja super cerewet yang punya mimpi besar ingin sekolah dan membangun bangsa. iya mimpi yang kukira awalnya adalah tidak mungkin, apa sih mengubah indonesia? ubah dulu saja hidupmu sendiri, baru pikir hidup orang lain.

itu ujarku dulu, tanpa sadar dan tanpa berkaca pada sejarah, dulu penemu lampu, penemu listrik, penemu jaringan nirkabel yang kunikmati saat ini itu semua berasal dari mimpi yang tak mungkin. aku lantas belajar untuk tidak mencintai mainstream karenanya. kita tak perlu jadi seperti kebanyakan dari mereka, hanya untuk membuat diri kita berterima. Sayang percaya dirinya seketika runtuh mendengar apa kata orang, dirinya limbung hilang kendali seketika orang bercerita tentang dirinya. tapi dia deja vu paling nyata dari hidupku. takdir kami seolah sudah berkaitan semenjak lama, jauh sebelum kami ditakdirkan untuk bertemu, kehidupan kemarin, dan kehidupan sebelumnya. segala yang terjadi diantara kami begitu mudah. kami selalu ditakdirkan bersama, bahkan didalam situasi dan tempat  yang tidak menyenangkan sekali pun. contohnya negara ini, seolah tuhan menakdirkan dan menempatkan kami dalam ujian yang serupa. agar kami saling menguatkan satu sama lain. agar takdir kami bersinggungan satu sama lain. kami berdua tak enggan lagi berpeluh peluh ria satu sama lain. kebahagiaan setiap dari kami adalah satu. kami berbagi bahagia dan duka bersama.

Wanita kedua adalah gadis paling manja yang tak pernah jauh dari orang tua, dan semenjak kedatangannya ke negara ini dipaksa jadi mandiri, karena tak biasa, ia selalu berada dibelakangku, kemana mana bersamaku, tak berani keluar rumah jika tidak bersamaku, tidak berani menyelesaikan masalah jika tidak bersamaku, tidak pernah meneteskan airmata, kecuali di depanku. aku hapal kebiasaan tidurnya yang menjajah sebagian besar kasur kami, atau kebiasaan nya meminum sup kacang hijau tanpa gula agar jerawatnya tak lagi tampak. Darinya aku belajar mengalah dan sabar. darinya aku merasa malu ketika aku mengeluh, darinya aku selalu berkata aku harus tangguh , karena ada satu gadis kecil yang berlindung dibawah sayapku.

jika aku memiliki dua sayap kedua wanita ini berada di sayapku, kanan dan kiri. kemanapun ia pergi akan kunaungi, tanpa ia tahu atau dengan ia tahu.

ku pastikan setiap udara yang mereka hirup adalah rangkaian doa yang kurapalkan rapat rapat ketika mata terpejam.

hari ini aku sadar, aku tak akan lagi bersama mereka di letak geografis yang sama, aku akan pulang ke tanah air, menunaikan janji yang telah ku patri jauh sebelum aku memutuskan terdampar di negeri ini.

Aku mungkin tak dapat lagi jadi tempat kalian berkeluh kesah jika hari panas menyengat kepala kalian, atau ketika dingin menggigit pelan kulit kalian. 

Mimpi mengharuskan ku melangkah berlari tak bersama kalian disisiku.

aku harus segera pulang. tugasku segera tunai disini.

semoga takdir menautkan garis yang sama agar nasib kita bersinggungan sekali lagi.

aku bersamamu!

(lalu aku bernyanyi lirih mengingat kalian di sini, dan berkata pelan, apa pun yang kalian rasakan, aku selalu. selalu bersamamu)

https://soundcloud.com/moviriana/i-am-with-youImage

All That You Deserve..

There’s something different about you, 

as I look in your eyes..

It says :

“true love has finally found you, 

given you back your smile”

I’m sorry I couldn’t love you, the way I always meant to..
Now there’s someone else to play that part..

I hear the way you talk about her, suddenly it’s all so clear..

It’s time for me to learn to move on..

I wanna see you happy,
Even if it means that I’ll make room for someone else to play that part..

Now and forever you will always be, someone who owns a place inside of me..
The only way I can let you know,
Is by letting go..

I hope she comforts the child in your heart..
I hope she understands the man you are..
May she never take for granted, the little things that make love work..

 

most of all,
I hope she’s all that you deserve..

-m.b-

Hai Halo Abang!

Halo bang!

Semalam aku begitu takut menerjemahkan pagi karenamu, hujan dan petir yang entah datang dari penjuru dunia bagian mana, mampir sejenak, seolah mengasihaniku sedikit..

Bukan aku tak ingin melepasmu pergi, tapi percayalah, sekian detik dari keberadaanmu adalah siksa bagiku.

Aku akan memberikan perasaanku yang paling tulus untuk memintamu tinggal, iya. disisiku.

Tahukah kamu? kamu adalah orang yang mampu meredam amarah dan gelisahku, memeluk semua caci maki ku atas negara yang kacau ini, tempat yang begitu dalam menyakitiku.

Kau tidak lantas meninggalkanku ketika dengan jahatnya aku membahasakan semua kemarahanku.

 Kamu yang memunguti serpihan harap yang enggan kusimpan lagi, kau berkata, suatu saat aku pasti menginginkannya kembali, dan benar saja, sekarang aku dekap rapat rapat. tanpamu.

Kau dan aku mendengarkan James Morrison bersama, aku bilang ini lagu patah hati bang!. Tanpa aku sadar, kini aku memahami setiap nadanya tanpamu.

Setiap sesal tidak akan dihantarkan padamu. aku hanya  berkata tidak ketika kau bilang hendak pergi, tanpa kau tahu betapa aku harus berkawan duka meredam keinginanku berlari kepelukmu dan meminta jangan pergi.

Abang, kita dulu pernah bersepeda bersama? ingat? tergelak bersama, mengingat pelupukmu yang terpejam dengan tanganmu yang diliat di dada, di lenganmu tegantung jam biru plastik pemberianku.

aku melukis punggungmu saat ini, berusaha mengingat aromamu, berusaha  merekam gelak tawamu, dan berusaha menerjemahkan lagu james morrison yang kita dengarkan bersama waktu itu. Aku merasa dalam diam sekarang.

Kau bilang terima kasih untuk segalanya. Dan aku tak sempat membalasnya.

aku akan bilang

“tinggalah disisiku sejenak, lagi

 

I don’t know why

why I can’t explain.. why it’s not enough..
Cause I gave it all to you
And if you leave me now.
just leave me now.
It’s the better thing to do..
It’s time to surrender,
It’s been too long pretending
There’s no use in trying
When the pieces don’t fit anymore…

 

Image

Dongeng Untuk Faathir..

Derak gerbong kereta itu bergesekan tak beraturan. Hari ini, cucu kesayanganku berulang tahun, umurnya beranjak 5 tahun, dia menjelma menjadi lelaki cilik yang pintar. Aku dengar katanya ia adalah mahluk cilik penuh tanya, sekali waktu aku mendengarnya berceloteh riang dari gaung yang terhantar oleh kabel telefon.

percayalah..

aku dalam eforia tingkat tinggi mendengar suaranya..

Aku mengamati seisi stasiun tua itu, membunuh waktu menunggu kereta yang akan membawaku menemui anakku, 2 cucuku, dan seorang gadis cantik yang menjadi tulang rusuk anak kesayanganku.

Nama darah dagingku Arjuna. iya! Tokoh heroik diperwayangan itu kupilih untuk merepresentasikan dirinya seumur hidup, tegar, kokoh, bijaksana bagai arjuna. Arjuna-ku memutuskan untuk pindah ke kota setelah bertemu dan menikah dengan Rania. Aku memutuskan untuk tinggal di desa, menyinggahi kembali kenanganku dan Arjuna. Mereka berdua membentuk keluarga harmonis disana, namun krisis ekonomi membuat mereka harus tinggal di rumah sempit, tapi mereka bahagia. Hari ini tuntas sudah penantianku selama setahun belakangan. Aku akan mengecupnya, mendekap erat cucu cucu ku, memasakkan makanan kesukaan Arjuna, dan membuat bolu kukus kesukaan cucuku. Arjuna melarangku pergi ke kota karena aku sudah semakin renta, ia sungguh khawatir denganku. Namun niatku untuk pergi hari ini tak terbendung lagi.

Arjuna menungguku di sana!

Arjuna dan Rania. Rasanya lama aku tak bertemu mereka. Aku sangat merindukan mereka, dan dua cucu kesayanganku, Faathir dan Fathira. Faathir-lah yang menjadi alasanku, untuk berada dalam gerbong kereta kelas ekonomi yang berderak-derak keras ini. Arjuna sebenarnya sudah memaksaku, untuk menggunakan transportasi yang lain. Bahkan dia bersikeras menjemputku. Tapi kukatakan padanya, aku tak serenta itu. Aku masih bisa naik kereta. Sendirian. Ulang tahun Faathir, cucuku yang istimewa itu, harus dirayakan.

Aku harus datang. Karena memang, jika mengingat vonis dokter waktu itu, Faathir seharusnya tak mencapai usia lima tahun. Oleh karena itulah setiap ulang tahun Faathir, kami rayakan dengan penuh syukur dan pesta kecil antar keluarga. Kami bersyukur, Fathira, sang adik yang lahir 3 tahun kemudian, tumbuh sehat. Berkebalikan dengan kondisi Faathir saat ini.


Faathir yang kucintai sama besarnya dengan kucintai Arjuna. Faathir yang sedari kecil harus menerima dakwaan penyakit mematikan. Leukimia. Aku tak bisa membayangkan bagaimana porak-porandanya hati Arjuna dan istrinya. Faathir yang sekecil itu masih tegar menerima setiap pengobatan yang menyiksa. Aku ingin bermain dengan Faathir, menciptakan lingkaran tawa di wajahnya. Juga Fathira, si kecil yang pandai bernyanyi. Kudengar Fathira sering menyanyikan lagu bintang kecil setiap kali Faathir disuntik selama pengobatannya. Fathira selalu bisa mengajak Faathir berkhayal terbang ke bintang-bintang di langit. Begitu rupanya yang sering diceritakan Arjuna padaku.

Dua muara jendela hatiku mengalirkan air terjun setiap kali Arjuna bercerita:

“Faathir ingin main-main di angkasa bersama bintang kecil
“Ayah, nanti kan Faathir terbang kan yah, Fathir bisa main-main di angkasa. Ketemu bintang yang sering dinyanyikan Fathira?”, begitu yang sering ditanyakan si kecil kepada ayahnya.

Aku kembali menyeka mataku, menunggu kereta ini melaju dan berhenti di hadapan para malaikatku. Aku menunggu, dan menunggu dengan hati gelisah. Namun penantianku akhirnya terwujud. Dalam beberapa jam, di depanku, stasiun kereta api yang kutuju sudah didepan mata. Aku tak sabar melangkahkan kakiku untuk keluar dari kereta api. Aku berjalan sambil menolehkan kepalaku ke kanan dan kiri. Dan akhirnya terdengarlah suara yang kurindukan. Suara Arjuna yang memanggilku,

“Bapak!”

Arjuna datang, menjemputku. Ia mencium tanganku, dan kupeluk dia. Ya Tuhan, betapa besar kehangatan dan rindu yang menggebu di dadaku pada anakku. Betapa nikmatnya menjadi ayah, saat melihat sang anak yang kini tengah dewasa dan memiliki keluarga yang baik. Selalu terselip kebanggaan, jika aku melihat Arjuna. Aku mengukur setiap inchi dari pertumbuhannya.ia sama tinggi seperti yang terakhir kutemui,perbedaan mencolok terdapat dari gurat gurat halus yang semakin banyak pada wajahnya.kantung matanya semakin besar,  kelelahan menggantung dengan setia disetiap kejapnya.

“Mari pak,ah,kangen sekali saya sama bapak.baik baik pak?” Tutur arjuna antusias.

“Baik nak baik? Rania baik? Fathira baik? Faathir baik?” Aku memberondong pertanyaan tanpa ampun.

Ia mengembangkan senyum paling bahagia,keceriaan terpatri dalam lengkuk lesung pipitnya.

“Baik pak, ah, semuanya lebih bahagia.lebih baik sekarang, yuk pak pulang kerumah.kebetulan,waktunya tepat sekali, pas makan siang.semuanya pasti sedang berkumpul” arjuna lalu menuntun langkahku menuju mobil suv yang ia cicil selama beberapa tahun belakangan ini, katanya, agar transportasi mengantar faathir lebih cepat dan mudah.ah segala galanya ia korbankan untuk kebahagiaan anaknya,aku paham rasanya, karena aku pun akan melakukan hal yang sama untuk bahagianya.


Setiap bayangan pohon yang menari – nari di kelibatan laju mobil itu,mampu menangkap kerinduanku atas faathir dan fathira,aku tak sabar merasakan hangat telapak tangan mereka menyentuh pipiku.aku merangkai banyak dongeng sebelum tidur agar dapat dilayarkan pada imajinasi mereka sebelum terlelap. aku tak sabar!

Aku terlelap.lalu arjuna menepuk pundakku lembut

“Pak,sampai, yuk..” Ia mengambil tas coklat lusuhku dan menuntunku turun.

Gelap ujung gang itu penuh misteri,semakin banyak langkah aku susuri seberkas cahaya berpendar lemah,lalu terang,dan semakin terang.
Mataku menangkap remang remang,beberapa pasang mata menelaah sosokku.aku bagai orang asing yang datang ke dimensi baru,dan orang orang itu penduduk lama yang penuh tanya. Arjuna menggenggam tanganku lebih erat dan semakin kencang, seolah otot jemari kami saling terjalin dan tak terlepas.

Itu dia, aku tiba di rumah mungil itu.pintu rumah itu terbuka lebar,lampu terang membiaskan setiap sudut rumah itu.diserambi rumah itu terjajar berpasang pasang sepatu yang ditinggalkan pemiliknya.

Ada yang aneh dengan suasana rumah itu. Mengapa sepatu-sepatu di serambi depan berdebu?  Aku mencoba mencari jawaban dengan menyapu pandangan ke seluruh rumah. Arjuna diam saja. Senyumnya di stasiun tadi mengapa berganti gulita? Rania pun diam saja. Ia hanya mempersiapkan teh poci untuk Bapak mertuanya. Aku mengeluarkan buku gambar dan sekotak pensil warna. Hadiah untuk Faathir. Tapi tak kulihat Faathir dimana-mana. Hanya ada Fathira yang merengek minta digendong Rania.

Arjuna mengambil kursi di hadapannya, 

“Pak..Faathir sudah tidak kuasa menahan sakit yang dideritanya. Kami harus merelakannya pergi.“ 

Kulihat air mata mulai melelehi pipi Arjuna. Rania hanya menatap tanpa bisa melanjutkan kalimat suaminya. Aku terhenyak di kursiku.

“Mengapa beritanya tak sampai padaku?”, aku menggugat.

“Saya tak tega.” Arjuna menjawab dengan wajah muram.Sang istri, Rania juga ikut menunduk. Tak mampu berkata sepatah katapun padaku. Aku memandangi pensil warna dan buku gambar yang akan kuberikan pada Faathir.

Jadi untuk siapa kado ini kuberikan? Hatiku gamang. Kakiku melemah. Tanganku gemetar memegang kado yang sedianya kuberikan untuk cucuku. Aku sudah membayangkan Faathir akan tersenyum dan tertawa padaku. Aku sudah tak sabar ingin memeluknya dan mengelus kepalanya yang tahun lalu tak berambut lagi karena kemoterapi yang dijalaninya.

Tapi, apa dayaku? Semua hanya anganku. Rasanya aku tak sanggup lagi menahan semua beban ini. Aku merasakan kepalaku berputar. Faathir sudah tak ada. Faathir cucu kesayanganku yang tegar menghadapi penyakitnya, kini mendahuluiku. Bukankah aku yang seharusnya meninggal terlebih dahulu? Aku merasakan pening luar biasa, dan gelap menyelimuti kepalaku.

Aku tak sadarkan diri lagi.

Dinding putih itu menyerap segala warna yang tertangkap mataku. samar kulihat kedua tanganku yang dialiri dua buah selang nutrisi. pasti. aku di rumah sakit. aku hapal betul setiap aroma molekul medis yang menguar disetiap sudut ruangan ini. Sudut mataku memompakan emosi yang tak terbendung, sembari mengoyak ngoyak kotak memori di kepalaku..

“pada suatu hari.ada keluarga kelinci, sang adik kelinci suka sekali berlari lari, berpetualang kesana kemari. suatu hari kakek kelinci memperingatkan untuk tidak berjalan terlampau jauh menyusuri hutan, banyak serigala katanya. tapi sang adik terus berlari, berlari hingga jauh jauh ke hutan. gelisah, sang adik tak kunjung kembali, sang kakek menanti nya di muka hutan itu. menunggu sambil mencuri pandang kesana kemari. berharap sang adik akan kembali, tapi sang kakek takut gelap, jadi ia tak menyusulnya. tapi ia bosan, lalu ia berlari riang sambil menjemput adik kelinci yang ia nanti”…

dongeng itu tak pernah sampai pada faathir, tapi selalu kudengungkan di kepalaku kapanpun aku teringat atasnya.

Tunggu faathir..

aku tak bisa lagi terus menanti untuk mendongengkan cerita sang kelinci padamu, aku akan membisikkannya langsung ke telingamu..

instrumen elektrokardiogram berbunyi nyaring dan lirih.

ah aku tak perlu lagi menanti..

kolaborasi bersama   dan  

 hari ke 6

tema ; Penantian

Aira di Rusia

Setetes darah jatuh menghujam tanah berlapis salju. Pagi ini sangat dingin. Suhunya mencapai -0° Celsius dan kabut terlihat menyelimuti langit. Aira menyeka hidungnya. Sudah kali kedua dia mengalami mimisan. Sungguh, udara dingin seperti ini sangat membunuhnya. Dia merogoh tasnya, mencari-cari tisue atau apa saja untuk membersihkan darah yang mengalir dari hidungnya. Kosong.

Tasnya kosong. Dia ingat kalau semalam ada sekawanan penjahat yang merampoknya, mengambil seluruh isi tasnya, dan menyisakan tas tak berguna itu dengan dirinya di tengah kota bersalju. Aira kehilangan arah, tak tahu dimana dirinya berada dimana sekarang.

Matahari linglung tak berdaya diselimuti kabut dingin bercampur hamparan salju hari itu. Aira mencoba menjejakkan kaki menganalisa tempat asing itu, menengadahkan wajahnya, mencari secercah hangat dari bias matahari.

Sial, rutuknya. Darah semakin deras mengucur dari hidungnya. Perih meranggasi indera penciumannya itu, dia mengupayakan daya terbaiknya meraih bangku taman untuk rehat sejenak. Dia pejamkan matanya, mencoba merasakan dengan khusyuk rasa sakitnya, menelaah apa yang salah. Ah, airmatanya tumpah, dia mengingat sesuatu yang lebih menyiksa dari dingin yang menusuk- nusuk tulangnya.

Ada sesuatu di tas itu yang terenggut darinya. Sama seperti hangat yang direnggut udara dari tubuhnya.

Sebuah kotak hitam milik ibunya, satu-satunya kenangan berharga yang menautkan Aira dengan wanita yang melahirkannya itu. Kotak berisi penjelasan dan alasan mengapa dia harus menempuh ribuan kilometer meninggalkan kota kelahiran. Dan akhirnya harus terdampar di tempat yang bersalju ini.

Terpaan udara dingin tidak mampu dihalangi oleh jaket tipis yang dikenakannya. Aira menggosok kencang telapak tangannya berusaha menghasilkan panas, walau itu pekerjaan sia-sia. Dia akhirnya beranjak dari bangku dan berjalan menyusuri jalanan yang sudah tertimbun salju lebat.

“Sebentar!”

Ada sesorang yang memegang lengan Aira sesaat sebelum beranjak meninggalkan bangku taman. Aira menoleh, terbelalak melihat sosok lelaki yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Bukan terkejut karena wajahnya, Aira melihat kotak hitam miliknya ada di dalam genggaman lelaki itu.

“Itu punyaku! Kembalikan!”

Aira merampas kotak hitam itu dari lengan lelaki tersebut. Dia segera membukanya, memastikan apakah isinya masih lengkap atau tidak.

Hening.

Bukan. Itu bukan kotaknya. Isinya hanya sebatang pipa rokok dan satu pemantik api.

Aira terkesiap, matanya panas oleh emosi. Dingin tak sebanding dengan kelu hatinya kehilangan benda kesayangannya itu. Ingin rasanya dia menjambak rambut lelaki itu. Menanyakan kemana isi kotak tersebut, atau apakah dia melihat kotak serupa tapi dia tak ada daya. Seluruh tenaganya tersirap habis melawan dingin.

Lelaki itu mengernyit heran, dia berusaha memahami apa yang terjadi pada Aira. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya dan bertutur fasih dalam bahasa Hindi

“Kyun? Bolo?” Lelaki itu menanyakan keadaanya

Aira hanya menatap dalam pandangan lelaki itu, tanpa berdaya melayarkan kata kata.

Rasa dingin bercampur lelah membuat tubuhnya terasa lemah. Aira merasakan sekelilingnya berputar, dia terhuyung dan akhirnya semua menjadi gelap.

Hal terakhir yang diingatnya adalah dekapan hangat dan bau cerutu. Entah milik siapa, mungkin lelaki di hadapannya tadi atau mungkin juga orang asing.

Aira terbangun dalam ruangan kamar yang cukup nyaman walau agak remang. Gemuruh angin terdengar mengetuk-ngetuk daun jendela, sepertinya di luar sedang badai. Baru kali ini dia mengalami kesialan berturut-turut. Pertama isi tasnya dikuras perampok jahanam tanpa menyisakan apapun yang bisa digunakan padahal dia berada di tempat asing, kedua adalah bangun dan lagi-lagi berada di tempat yang asing entah ini kamar milik siapa.

Aira memperhatikan tubuhnya, pakaiannya masih utuh walau dia sudah tidak mengenakan jaket. Ujung celana jinsnya basah karena salju. Matanya menjelajah isi kamar, cukup luas dan mewah terlihat dari lukisan dan hiasan-hiasan yang memenuhi kamar. Di sebuah rak di sudut ruangan dia melihat jaket merah miliknya, terlipat rapi.

Pintu kamar berderak, seseorang muncul membawa semangkuk sup.

“Kamu pasti belum makan, ini makanlah.” Seorang lelaki muda berusia awal 20-an. Mata Aira waspada mengamati pergerakan pemuda itu.

“Kamu bisa bahasa Indonesia?” Sebuah tanya meluncur dari mulut Aira karena jelas pemuda di depannya tidak tampak seperti orang Indonesia. Wajahnya saja mirip salah satu personil One Direction, hanya rambutnya lebih panjang dan ikal. Ada sapuan jambang tipis di wajah pemuda itu menambah ketampanannya.

“Ibuku orang Indonesia, orang Sunda tepatnya. Ayahku orang Rusia.” Pemuda itu tersenyum memamerkan barisan gigi putih yang rata.

“Namaku Darian, kamu siapa?”

“A..aku Aira. Ini dimana? Kenapa aku bisa sampai disini?”

“Justru harusnya aku yang bertanya, sedang apa kamu di kota ini, Aira?”
Tanya Darian tajam. Aira terdiam. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Seolah dia sedang mencoba mengingat segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Membayangkan semua potongan kejadian yang terasa singkat tapi tak terlupakan. Ingin rasanya dia memaki-maki, mengutuk, dan mengeluarkan semua kekesalannya pada Darian, lalu menangis kencang dan mencurahkan semua perasaan kalutnya. Tapi sedetik kemudian Aira berubah pikiran.

“A-aku… Aku tidak ingat apapun selain namaku. Aku hanya ingat namaku saja”

Berbohong. Tentu saja di situasi seperti ini dia tidak mungkin menceritakan kelemahannya pada orang yang baru saja dia kenal.

“Lalu siapa nama Ibumu? Ibuku juga berasal dari daerah yang sama,” ucap Aira, mengganti topik.

“Sarah. Dan nama Ayahku… Kamu bisa tanyakan padanya nanti jika bertemu. itupun jika kamu masih mau disini.”

Sedetik kemudian pintu berderak lirih, keduanya terkesiap dan berusaha mengivestigasi sosok bersepatu bot yang langkahnya semakin kencang, pertanda dia melangkah semakin dekat pada Aira dan Darian.
.
“Ian kto eta devushka?” Tanyanya dalam bahasa Rusia dengan suara berat.

“Bisa bahasa indonesia dia,” timpal Darian.

Aira menganalisa lelaki yang ditebaknya sebagai ayah Darian, kumis tebal menambah garang air mukanya, bootnya penuh dengan lumpur.

“Kenapa disini?” Tanyanya ketus.

“Kedinginan om, kalau boleh aku tinggal disini sampai besok, kalau boleh?” Ujar Aira setengah memelas.

Entah kenapa Aira memohon begitu, bagian dari dirinya meminta untuk tinggal.

“Tidak bisa. Pergi!” ujar pria itu tanpa ampun.

Aira terhenyak, tak percaya atas balas kata pria garang di hadapannya. Aira berharap dengan muka yang memelas bisa menerbitkan iba pada hati ayah Darian. Darian mengambil langkah dan menarik napas panjang,

“biarin aja sih. Masalahnya juga apa dia disini, kamar mama juga kosong” ujarnya setengah melotot, setiap jeda dari kalimatnya mempertegas sisi pemberontakan dari dirinya.

Lalu waktu menjadi senyap. Detik demi detik terlalui, ketiga orang dalam ruangan terperangkap dalam kesunyian. Aira ingin berubah pikiran ingin lari saja rasanya.

“Baiklah, kamu boleh tinggal. Hanya untuk malam ini saja.” Ayah Darian akhirnya mengalah dan berlalu dari kamar sehingga kekakuan di antara mereka sedikit mencair.

“Aku akan menyiapkan baju ganti untukmu. Kamu makan saja dulu.” Darian baru akan beranjak namun aku menahannya.

“Siapa yang membawa aku kesini?”

“Penjaga rumah kami, Salman. Dia bertemu denganmu ketika kamu hampir pingsan di jalan.

Aira berasumsi kalau lelaki berwajah Hindi yang ditemuinya di taman tadi adalah orang yang membawanya kesini. Perutnya bergemuruh, uap sup menggoda indera penciumannya dengan lahap dia menghabiskan sup kental yang gurih itu.

Sejam kemudian seseorang masuk membawa tumpukan pakaian bersih, seorang perempuan setengah baya dengan wajah familiar.

“Ibu..” Aira tersentak melihat siapa yang masuk.

“Ka..kamu siapa?” Tanya perempuan itu, dia mengenakan setelan baju putih bersih layaknya perawat sepertinya dia salah satu pekerja di rumah besar ini.

“Aku Aira ibu, anakmu. Aku kesini mencarimu..”

Perempuan yang dipanggil ibu memandang Aira dengan tatapan kosong seolah tidak mengerti bahkan mengenali sosok Aira.

“Maaf nona tapi aku tidak mengenal anda. Aku hanya pelayan disini dan tidak menikah.”

Ibu separuh baya tersebut menunduk. Dia menyodorkan setumpuk pakaian pada Aira.

“Sebaiknya anda lekas mengganti pakaian anda.”

Ibu itu kembali berujar. Aira masih menatap wajah Ibu separuh baya itu. Dia sangat mengenalinya. Sangat hafal dengan setiap kontur wajah ibunya. Tapi orang di didepannya ini justru mengaku tak mengenalnya. Aira merogoh kantong bajunya, mengeluarkan foto dirinya dan sesosok wanita paruh baya yang sedang berangkulan, di belakangnya kokoh dengan megah candi Borobudur.

“Ini aku dan Ibu. Apa anda tidak mengenalinya? Bu, aku sudah lama mencarimu.” Aira menyodorkan foto itu. Membiarkan wanita itu melihatnya. Ada sedikit anggukan dari ibu tersebut, mengakui memang mirip wajahnya. Dalam hati Aira mengutuk kesal, mengapa kotak hitam yang berisikan tentang ibunya hilang. Wanita berpakaian putih itu hendak mengatakan sesuatu, tapi Darian segera masuk kamar.

“Bu, kalau sudah selesai segera keluar. Biar Aira istirahat.”

Ibu itu mengangguk, membungkukkan sedikit tubuhnya pada aira dan mengembalikan foto milik aira, lalu keluar kamar.

“Dia mirip ibuku.”
Ucap aira. Darian duduk disamping Aira. Dia mendesah perlahan tak menanggapi ucapan Aira. Lalu dengan perlahan Darian berkata,

“Aku mau beritahu sesuatu. Ayahku Rasis. Jadi jangan coba-coba kamu berkata sesuatu yang tak mengenakan di rumah ini.” Kemudian Darian menceritakan bahwa Rasisme di Rusia biasanya terjadi pada bulan April, karena pada bulan tersebut bertepatan dengan hari ulang tahun Nazi.

Ya, rasis mengikuti paham nazi yang merasa mereka kelas unggul dan sangat membenci orang asing. Mereka bukan di bunuh karena kesalahnnya, tapi karena mereka orang asing.

“Ya, sebenarnya bukan hanya Ayah, aku juga. Dan kamu tahu ini bulan apa?.”

Aira terdiam. Ia melirik sudut kamar ruangan itu, sebuah kalender berbahasa Rusia menuliskan bahwa sekarang bulan April.

“Maaf Aira. Kami tidak bisa membiarkan kamu tinggal disini.”

Darian mengeluarkan sebuah Revolver, senjata berkamar peluru yang berputar dengan kaliber peluru 50 cal. Darian menutup matanya, menodongkan senjata tersebut tepat di kepala Aira. “Maaf”

Tes!

Setetes darah mengalir, dua tetes, bahkan tetesannya semakin membajir lantai kamar.

Aira tersengal-tesengal. Nafasnya naik turun. Tubuh Darian bersimbah darah, mati. Terbujur kaku di pangkuannya. Di depan pintu Ibu separuh baya itu menatap kaku, memegang pistol kecil di tangannya. Menyisakan penuh tanda tanya untuk Aira. Tubuhnya gemetar, terhenyak. Lalu keheningan tercipta di rumah itu, di kota sunyi Grozny, Rusia.

Hasil threesome @unidzalika, @mochariana & @naztaaa untuk #AWeekOfCollaboration day 5 : HENING.

Secangkir Teh dalam Hangat

Aku adalah sang penyelamat. Begitu aku dipanggil oleh orang-orang.

Mereka memanggilku ketika jenuh, atau terlalu lelah menghadapi hidup yang membuat mata sayu, pundak berat dan flu datang mengendapkan letih.

Aku juga diundang jika orang-orang ini sedang berbahagia, atau ketika mereka sedang duduk-duduk santai mengobrol ngalor ngidul menunggu senja.

Musim hujan telah tiba, ini saatnya aku bertugas dengan sekuat tenaga, menghadirkan sekelumit kehangatan yang sedang diselimuti bekunya udara dan awan-awan mendung yang bergelantungan di atas sana.

Aku tidak dapat hadir sendirian, aku hanya dapat menggunakan kekuatanku menghadirkan seberkas bahagia jika ada dua teman baikku, Tuan air panas, dan Nona cangkir porcelain. Benar saja, tak lama salah seorang dari mereka membicarakan aku. Aku harus bertugas kembali, senangnya bertemu Tuan air panas dan Nona cangkir porcelain lagi.

Kuberikan daya pada roda roda itu agar melesat cepat, menerobos hujan, ironis. Aku menjelma menjadi malaikat paling hangat saat gerimis datang.tapi kedua kakiku bersimbah kelu,bergetar kencang karena dua sisi sepatu yang membungkus kakiku berebut mencari udara bebas diantara sela-selanya.

Kudaratkan gerobak itu di sudut biasa ia tinggal,dan bergegas berhamburan ke kamar sempit itu. Pemandangan sama yang selalu kunikmati 20 tahun belakangan diantara rambut memutih dan garis keriput. Dia terbaring disana,terjebak dalam beku dunianya. Menanti hangat,seolah memilin waktu untuk menjebak suhu agar singgah lebih lama di dirinya. Aku mengerjapkan pelupuk yang semakin lelah.memutar mutar keduanya,mendaratkan penglihatanku pada tubuhnya. Menganalisa dengan seksama apa yang terjadi dalam setiap inci tubuhnya. Apa kau bergetar? Apa kau hampa? Apa kau cukup? Apa kau bahagia?

Aku berharap menemukan kisi-kisi jawaban dalam sarat tatap matanya, aku berusaha menerjemahkan gurat senyum halus atau kernyitan dahi di setiap detiknya. Aku mencari hangat pada bola matanya.seperti hangat yang selalu membuncah seketika orang orang itu menyesap cairan manis yang kujajakan.mereka tertawa penuh gembira.tapi mahluk ini memberikan tatapan kosong penuh misteri sehabis menyeruput minuman yang aku buat dengan penuh harap disetiap molekul air itu. Dua puluh tahun, aku menganalisa dalam beku.

Kini ia menampakkan segaris senyum tipis yang hampir saja tak kukenali sebagai senyuman. Matanya masih nanar meskipun Nona Porcelain dan Tuan Air Panas telah berkumpul menjadi satu, dengan kantong teh melati yang menguarkan bau kehangatan di hadapannya.

Ada apa gerangan? Apa yang mengkontaminasi imajinasimu sehingga kau tak dapat menerima sentuhan magis cairan pembawa bahagia yang kuracik dengan penuh cinta ini?

Akhirnya kuberanikan diri menyapanya, “Teh melatinya kurang gula, Pak?”

Ia menggeleng, namun aku menangkap sinyal dari pancaran matanya bahwa ia ingin bercerita. Namun sayangnya tubuhnya mengisyaratkan lain, ia bergegas menaruh cangkir porcelain di atas gerobakku, lalu menyodorkan uang tiga ribu rupiah, sambil berlalu kembali ke gubuknya.

Mungkin tidak malam ini aku dapat memahami gurat pilunya, biar kucoba datang lagi esok. Lalu kucuci cangkir porcelain terbaik ini untuk sang pelanggan setia yang penuh misteri. Cangkir-cangkir gelas biasa biarlah menjadi milik pelanggan lainnya.

Senja itu adalah pertanda kehadirannya.kumpulan awan merah adalah sinyal yang menandakan ia segera hadir. Kali ini berbaju rapi mengunjungiku,setiap benang yang terjalin halus ditubuhnya memancarkan sinar gemerlap yang menyilaukan mata.setidaknya bagiku.

Seperti biasa,ia memilih tempat favoritnya , menarik bangku,disampingku.namun ada yang berbeda malam ini, dia memesan secangkir teh tanpa gula. Sepertinya ia ingin memulai hal baru.atau mungkin itulah perasaannya saat ini.tanpa rasa. Ia mengatup-ngatupkan bibirnya.entah melawan dingin atau berusaha mengeja.

Aku berbalik menghidangkan teh, rutinitas kami, aku memberi, ia menerima, lalu nanti ia memberi dan aku menerima. Kami menemukan cara baru berkomunikasi – ala kami. Ia tercekat mengambil nada.

“Kau tahu hari apa ini?”, katanya terbata. “Apa?” Ujarku.

Ini hari yang paling indah dalam hariku.seperti mu.seperti cangkir khusus yang selalu kau persembahkan untukku“, ia berusaha mengeja perasaannya dengan sungguh.

Saat itu hatiku adalah lika liku teka teki tak terjawab.setiap nada dan hela nafas yang ia guratkan adalah misteri. Dan selamanya begitu.

Hari ini adalah hari ulang tahun perkawinanku dengan perempuan yang paling kucintai. Tapi ia aku tak punya cukup kuasa untuk mempertahankannya di sisiku. Atau melihat rambutnya memutih seperti halnya rambutku ini“, Ia menyesap kembali teh tanpa gulanya yang semakin dingin diterpa angin.

Apa perempuan itu sudah dipanggil menemui Tuhan?”, jawabku ragu, takut semakin mengundang awan kelabu yang menggelayuti redup matanya malam ini.

Dua menit. Ia terdiam, tiga menit, empat menit. Ia masih bertahan dalam bisunya yang semakin membuat rasa bersalah merobek-robek hatiku. “Apa aku salah bicara?”, ujarku mencoba menggali heningnya yang terlalu menggelora.

Ia terlihat memejam, lalu menarik nafas dalam-dalam, “Sebenarnya aku tak ingin membawa kenyataan pahit ke hadapanku apalagi menyeretmu , tetapi aku merasa aku harus pergi, mencari sumber kehangatanku yang sedang menunggu di ujung dunia yang berbeda. Ia mendahuluiku mencapai garis finish, dipannya di rumahku masih saja menguarkan aroma kayu manis yang teh melati. Ia tidak pernah benar-benar pergi. Tapi justru karena itu aku merasa sepi, mencium baunya tapi tak dapat mencari celah di jemarinya yang sudah lama meninggalkan fananya dunia.”

Aku tertegun, pantas saja ia selalu memesan teh melati selama dua puluh tahun ini. Tidak pernah sekalipun berubah, kecuali hari ini, hari teh melatinya dibiarkan kesepian, tanpa gula.

Mendung terus menggelayuti kantung matanya.tetiba ia terisak tanpa kendali.perih dan miris. Siapapun yang mendengar isaknya lalu dengan otomatis akan menundukkan kepala tanda bela sungkawa. Seketika aku merasa pahit yang menjalar di batas matanya seketika matanya memadu dalam mataku dengan cepat. Perih yang tertempa disetiap raut wajahnya meranggasi batinku.

Ada apa ini?”, aku memandangnya gusar.
Aku.aku..aku.kamu..kamu“, tuturnya tak tertata. Pikiranku semakin liar menjalar,meranggasi kotak kotak pengetahuan yang kutempa semenjak kecil dahulu. Ia kenapa?tanyaku lirih. Ia memandang sekeliling, mendaratkan kedua tangannya lebar lebar.merengkuhku dengan erat. Terlalu erat.hingga rasanya nadiku kehilangan daya mengalirkan tenaga. Ia lalu mengendurkan pelukannya. Dan berkata sungguh sungguh “Kau bagiku adalah alasan kenapa embun tak boleh membenci pagi.denganmu.aku ada
Ia menggenggam jemari dan memastikan tiada ruang dari jari kami berdua. Erat.

Seketika riuh rendah orang bersorak sorai meneriakkan sesuatu.sekompi pasukan berbaju putih seolah siap kapan saja menyergap tanpa ampun. Orang orang itu berteriak panik tanpa kumengerti apa maksudnya. Lelaki itu menarik tubuhku kencang.membawaku ke pelukannya,hingga aku kehilangan hela untuk bernafas.

Kami menjauh.menjaga jarak dari orang orang yang seolah mengepung kami.yang aku tak mengerti gerobakku sudah porak poranda.pecahan gelas bergelimpangan dimana-mana. Tak terkecuali gelas khusus untuknya.

Anak muda penuh daya yang berbaju putih itu mendekat dan memaksanya melepas pelukannya padaku
Tidak ..tidak..tidaaak..ia istrikuuu…pergi kalian sana ke neraka.pergi kaliaaaaaaan.. Istrikkkkuuuuuuuuuuu….“Ia berteriak teriak sembari meratapi lirih pelukan kami yang memudar, bagai orang gila, ia memukul mukul udara ketika seorang dari mereka merengkuhnya paksa dariku.

Salah satu dari mereka menancapkan jarum panjang ketengkukku. Dingin merembesi seluruh aliran darah yang mengaliri panca inderaku.samar.aku melihatnya menangis pilu. Dan melihat tangan kiriku yang memegang semburat pisau yang kudapat entah dari mana. Hangat itu padam.
Aku dengar sayup sayup riuh rendah..

Mereka meneriakiku, gila.

 Hasil Kolaborasi duet maut Nurhadianty Rahayu dan Movi Riana Rahmawanti

dua gadis jenaka

dua dini hari dan detak demi detak memperlembat nafas yang tercekat dikerongkongan. aku mengerjap ngerjapkan mata sejenak, mencoba memompa kesadaran. aku bergegas mengayunkan tanganku meraih ponsel.meraba tombol mungil itu, berharap ada berita paling baru. ah bukan lagi. hanya sekumpulan foto kawan lama yang berusaha bahagia atau terlihat bahagia. aku mengetuk ketukkan jemari. gelisah. sejak kemarin sore. 

wanita mungil itu. tingkat pertama, calon akuntan. bayang -bayang dalam otakku di 4 tahun terakhir. dimana harapnya bergantung padaku.

aku masih ingat cara ia tergelak manis ketika aku memberinya kain sari musim panas kemarin. ia lalu berdansa dengan kain warna marun itu. bahagia. menderapkan selop merah jambunya, melintasi setiap sudut kamar itu. ronanya senada dengan sendal mungilnya. ia tersenyum, tergelak. ia memanggil manggil namaku dengan tidak sabar

” cantik kan aku mbak? cantik? cantiiiik, aku mau jadikan baju kembaran sama nia mbak, yuk kita samaan.”

aku masih simpan baju itu bersamaku sekarang. bayangan peristiwa itu menari nari ketika aku melihat baju itu teronggok di pojok ruangan ini.

dan itu semua yang kubingkai dan kuselipkan dalam setiap doa yang kusemilirkan di setiap bulir darahku.

kadang orang mencemooh dan meragukan tanggung jawabku.

hey. kau tak tahu.

aku wanita yang punya cinta yang tak berbatas! aku punya sepasang tangan yang kuat untuk memikul berapapun beratnya beban hidup.!dan yang paling penting aku punya niat!

aku benci kemiskinan yang menghampakan berbagai mata yang kusinggahi bayang bayangnya. aku hidup diantara itu. maka daripada kuberteriak teriak miris menuntut adil, aku ingin mengembangkan sedikit harapan itu dalam tawanya, mengangkatnya dari miskin itu. aku ingin ia makan dengan teratur. bukan berebutan satu piring nasi dengan lauknya bersama 3 saudaranya. aku ingin mereka semua punya makanan yang ku makan hari ini, penuh nutrisi.aku ingin ia dialiri semua upaya medis paling baik seperti orang orang itu. aku ingin ia sekolah setinggi tingginya. mendapatkan kesempatan untuk menjadi lebih baik, nanti membantu keluarganya, jika tidak membantu dirinya sendiri.

aku menenggelamkan bola mataku pada pelupuk, dan mengais ngais kibaran memori yang terguncang ke sana dan kemari. dia, di bandara soekarno hatta itu. aku dan dia menghabiskan donat terakhir kami. aku akan pergi ujarku.

dia hanya menatap. bening air mukanya memaparkan sejuta emosi. lalu ia bertutur

mbak, aku sayang sama mbak ya. selalu tahu itu, dan kalau ada yang jahat. kembalilah, kemari, bersamaku saja ya. kita bekerja berdua, kita sama sama lagi. aku akan berjuang sekolah lebih baik, semester depan harus bisa beasiswa lagi biar bisa buat nia masuk sma

aku hanya menepuk pundaknya, mencium kedua pipinya dan tersenyum

aku akan berusaha yang terbaik untukmu, kau juga harus begitu”

aku lalu berhambur pergi, berusaha menahan tangis yang kemudian pecah tak terkendali.

dia semangatku. dia dan adiknya adalah hari hariku. disaat dunia menolakku, disaat sandiwara di tempat ini memainkan perannya terlalu baik, disaat orang lain meninggalkanku memperlakukanku sebagai sampah. kias kias memori selalu mendarat kepada mereka dan ibuku, tiga orang yang kusayangi dan  selalu kuusahakan bahagianya.

aku mencintaimu wahai gadis gadis kecil yang beranjak dewasa, aku mencintai melihatmu bertambah umur, mampu berdiri di atas kakimu sendiri, membanggakanku, mencintaiku.

aku merelakan setiap malamku untukmu, untuk selalu berusaha mencintaimu dengan baik, dengan caraku. maka bahagia lah, sehat selalu.

di kedua pelupuk mataku tertulis nama kalian berdua, ketika aku memejamkan duniaku, hanya nama kalian dan ibuku yang ada didalamnya.

hidup lah selalu, untukku, dan bersamaku.